Tapi aku sangat menghormatinya karena Mbah Sarwi adalah guruku: Guru
yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan, mengajariku tentang
arti kepasrahaan kepada Tuhan juga semangat pantang menyerah. Biasanya
aku hanya memberikan uang kepada Mbah Sarwi, sembari mengatakan rencana
sayur yang akan kubuat. Dengan cekatan beliau memilihkan sayur kepadaku.
Pernah aku bertanya, apakah Mbah Sarwi tidak merasa takut bersaing
dengan supermarket, hypermarket bahkan pedagang lain yang menjadi
saingannya? Beliau hanya menjawab bahwa rizki kuwi wis ono sing ngatur,
ono dino yo ono upo. Pernah sesekali aku berpandangan negative bahwa
mungkin sikap beliau adalah cermin sebuah keterbelakangan, moral
peasant. Menurut Samuel W. Popkin (?), seorang petani lebih bodoh dari
buruh, sehingga dianalogikan bahwa petani akan berteriak adanya banjir
apabila air telah mencapai leher. Dan Mbah sarwipun mungkin baru akan
menyadari kekeliruannya setelah modalnya habis dan bangkrut.
Akan tetapi sekitar dua tahun aku berlangganan, tidak kutemukan
sebuah kemunduran. Bahkan kini Mbah Sarwi bisa membeli sebuah
timbangan. Biasanya beliau meminjam timbangan dari pedagang sayur
disampingnya. Beliau juga berceritera bahwa beliau habis menjenguk
keluarganya di Madiun, karena cucunya dikhitan. Dan beliau merasa
bersyukur karena Tuhan terus memberikan berbagai kebahagiaan di
penghujung usianya.
Jawaban-jawaban Mbah Sarwi memang membuatku mati langkah.
Kepasrahannya kepada Tuhan, mengalahkan ceramah para agamawan yang
kadang harus menetapkan tariff bagi mereka mengundangnya. Kegigihannya
dalam berusaha, mengalahkan kaum pengusaha yang terbukti hanya bisa
menjual lisensi dan praktek monopoli.
Hukum Tuhan memanglah misteri. Orang yang kita pandang lemah, justru
sebenarnya adalah orang yang kuat. Banyak orang kaya yang justru merasa
khawatir tentang hartanya serta banyak orang berilmu merasa khawatir
akan wibawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar